Hasan Basri
Blog entry by Hasan Basri
Awalnya, aku hanya membuka situs pusat umroh karena rasa penasaran. Temanku baru saja pulang dari Umroh Plus Dubai, dan ceritanya benar-benar membuatku terpikat. Ia bercerita tentang pengalaman melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, lalu bersantai di bawah gemerlap lampu Burj Khalifa beberapa hari kemudian. “Kamu juga pasti bisa,” katanya ringan. Tapi di hatiku muncul pertanyaan besar: bagaimana caranya menabung untuk umroh di tengah kebutuhan hidup yang terus naik?
Pertanyaan itu menempel lama di pikiranku. Malam itu aku membuka catatan keuangan bulanan. Dari gaji yang pas-pasan, seolah tak ada ruang untuk sesuatu sebesar umroh. Tapi semakin aku pikirkan, semakin jelas bahwa ini bukan soal angka — ini soal niat. Jadi aku mulai dengan langkah kecil: memisahkan 10% gaji khusus untuk tabungan umroh. Tak besar memang, tapi cukup untuk menyalakan semangat.
Beberapa minggu kemudian, aku menemukan artikel inspiratif di pusat umroh tentang strategi menabung untuk perjalanan spiritual. Ada kisah seorang ibu rumah tangga yang berhasil berangkat setelah dua tahun menabung dari hasil jualan kue. Ada pula cerita mahasiswa yang berangkat umroh setelah menyisihkan uang beasiswa. Dari situ aku sadar, setiap orang punya jalannya sendiri menuju Baitullah. Dan mungkin, ini saatnya aku mulai menempuh jalanku sendiri.
Aku ubah kebiasaan harian sedikit demi sedikit. Tidak lagi beli kopi di kafe setiap pagi. Tidak lagi belanja impulsif di akhir pekan. Sebagai gantinya, aku mulai mencatat pengeluaran harian, memastikan uang tak bocor ke hal-hal yang tak perlu. Rasanya berat di awal, tapi begitu saldo tabungan mulai bertambah, muncul perasaan bangga yang tak bisa dijelaskan.
Sekitar delapan bulan kemudian, tabunganku sudah mendekati setengah dari total biaya umroh plus dubai. Aku mulai bisa membayangkan langkah kakiku di Masjidil Haram, mencium aroma pasir di Dubai, dan menatap langit dengan rasa syukur mendalam. Kadang aku dan istri duduk berdua membayangkan perjalanan itu sambil mencari referensi hotel dan rute penerbangan di situs pusat umroh. Kami sengaja memilih paket yang sudah mencakup visa, transportasi, dan muthowif agar perjalanan nanti lebih tenang.
Setiap kali membaca tentang umroh plus dubai, aku merasa ada pesan tersembunyi di baliknya: bahwa perjalanan spiritual tidak harus meninggalkan keindahan dunia. Justru, kita bisa belajar dari keduanya. Di Dubai, kita belajar tentang kemajuan, kerja keras, dan disiplin. Di Makkah dan Madinah, kita belajar tentang ketenangan, kesabaran, dan rasa syukur. Dua hal yang tampak berlawanan, tapi sejatinya saling melengkapi.
Waktu akhirnya tiba juga. Hari itu, aku dan istri berangkat bersama rombongan dari Jakarta. Perasaan gugup bercampur haru. Setibanya di Dubai, kami disambut suasana kota yang futuristik dan modern. Melihat Burj Khalifa menjulang tinggi, aku langsung teringat pada perjalanan tabunganku—dari receh hingga bisa menjejak kota megah ini. Kami menikmati wisata halal di sana: berkunjung ke Miracle Garden, naik Dhow Cruise di Marina, dan berbelanja di Gold Souk yang legendaris.
Namun di balik semua kemegahan itu, hatiku tetap rindu pada tujuan utama: beribadah di Tanah Suci. Setelah tiga hari di Dubai, perjalanan dilanjutkan ke Makkah. Saat pertama kali melihat Ka’bah, tak ada kata yang bisa menggambarkan rasanya. Semua perjuangan, penghematan, dan doa selama setahun seperti berputar di benak. Air mataku menetes deras. Istri pun tak bisa menahan haru. Kami berdua hanya bisa sujud syukur, karena Allah سبحانه وتعالى telah mengizinkan langkah kecil kami sampai sejauh ini.
Di Madinah, aku merenung lama di Raudhah. Aku sadar, perjalanan ini bukan sekadar wisata religi—tapi perjalanan hati. Setiap detik di tanah suci mengajarkan makna kesabaran dan ketulusan. Bahkan, setiap langkah dari hotel menuju Masjid Nabawi terasa penuh makna.
Sepulangnya ke Indonesia, aku sering berbagi cerita ini dengan teman-teman kantor. Banyak dari mereka heran, bagaimana bisa aku yang dulu bilang “nanti kalau sudah mapan” justru lebih dulu berangkat. Aku jawab dengan jujur: “Karena aku mulai menabung saat belum siap, bukan menunggu siap.” Dan kini, mereka pun mulai membuka tabungan umroh masing-masing.
Perjalanan umroh plus dubai mengajarkanku satu hal penting: bahwa keberangkatan ke Tanah Suci bukan tentang siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling bertekad. Semua bisa dimulai dari langkah kecil — dari niat yang tulus dan kesabaran yang terus dijaga.
Kalau kamu sedang punya keinginan yang sama, jangan tunggu nanti. Buka situs pusat umroh, cari paket yang paling cocok, lalu mulai rencanakan dari sekarang. Karena mimpi untuk menjejak Baitullah itu bukan mimpi mahal. Ia hanya menunggu untuk dijemput oleh keyakinan dan usaha. Dan percayalah, begitu kamu niat, Allah سبحانه وتعالى akan membukakan jalannya, bahkan dengan cara yang tak pernah kamu duga.
Maka, jangan tunda lagi. Siapa tahu, tahun depan kamu sudah menatap Ka’bah dan berbisik haru, “Akhirnya aku sampai juga.” Dan dari situ, perjalanan hidupmu tak akan pernah sama lagi — karena umroh plus dubai bukan sekadar perjalanan luar negeri, tapi perjalanan menuju kedewasaan spiritual yang sesungguhnya.